
Those who do not learn from history, will repeat the history.
Terkadang, manusia dikutuk untuk mengulangi kesalahan yang sama.
Seperti kisah Sisyphus, raja daerah Corinth dalam mitologi Yunani. Sisyphus yang melihat Zeus membawa lari Aegina, putri Asopus, lalu mengadukannya kepada sang dewa sungai. Zeus yang sangat murka kepada Sisyphus lalu menghukumnya dengan cara menjebloskan putra Aeolus ini kedalam Tartarus, alam bawah tanah terbawah. Neraka paling dasar.
Didalam Tartarus ia mendapat hukuman yang sangat menyiksa. Sisyphus harus mendorong batu besar menuju sebuah bukit, hanya untuk melihat batu itu jatuh kebawah saat di puncak. Dan ia harus mengulangi proses mendorong batu itu, mulai dari bawah lagi. Terus menerus. Tak pernah putus.
Ada banyak interpretasi tentang Sisyphus. Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus menganggap jika Sisyphus adalah symbol pencarian eksistensi kehidupan manusia. Sebuah kondisi penuh hukuman dimana kematian bisa menjadi jalan keluar. Sayangnya, Sisyphus harus berurusan dengan keabadian. Dan apa yang lebih menyiksa dari melakukan pekerjaan tanpa makna selamanya?
Seperti pesan Fyodor Dostoyevsky:
“Apabila kita ingin menghancurkan seseorang, merusak dia sepenuhnya atau memberi hukuman yang menyakitkan. Sehingga pembunuh paling kelam pun gentar dan takut menghadapinya, yang perlu kita lakukan hanyalah memberinya pekerjaan yang tak berguna, sia-sia, dan irasional!!!”
Yang jelas Sisyphus adalah sebuah symbol kesia-siaan. Perjuangan yang tidak menghasilkan, dan hanya berakhir pada kekosongan. Tragedi Sisyphus adalah cerminan kehidupan yang terus menjadi siklus. Tapi benarkah Sisyphus adalah sebuah symbol penderitaan?






